top of page

End of Year Portfolio Review

  • Gambar penulis: Rio Adrianus
    Rio Adrianus
  • 2 Jan 2022
  • 7 menit membaca

Covered: AALI, BWPT, LPCK, BBNI, PRDA, SRIL, PTBA, ICBP, BULL


In retrospect, awal pandemi 2020 adalah moment bagus untuk berinvestasi saham. Profit besar datang untuk investor yang bisa memanfaatkan moment kepanikan/pesimisme masal investor lainnya. Sepanjang pandemi, hingga saat ini, mayoritas teman/keluarga saya tidak bisa mengesampingkan persepsi mereka kalau berinvestasi saham di masa pandemi adalah tindakan yang sangat berisiko atau setidaknya hanya bisa dilakukan kalau tujuannya trading. Sejauh ini mereka terbukti salah. Selagi betul banyak bisnis perusahaan terkontraksi besar di tahun 2020, tapi hal itu menjadikan base/starting point mereka rendah. Ekspektasi Mr. Market mudah terlampaui di masa seperti itu.


Sebaliknya, preferensi banyak orang adalah memilih saham perusahaan yang masih kokoh di masa pandemi, seperti BBCA (Bank BCA). Mereka melihat bull market yang persistent sebagai indikasi keamanan future return mereka. Tindakan herding ini akan memberikan hasil yang sangat mengecewakan. Keruntuhan saham big names seperti UNVR (Unilever) tidak mengajarkan mereka apapun. Kemudian datang herding behavior lainnya dalam bentuk mania di tech sector, terutama di digital banking. Prinsip sederhana akan berlaku: apa yang naik cepat, turunnya juga cepat. Clearly, 2 tahun selama pandemi ini mengajarkan valuable lesson kalau seorang investor perlu memiliki disiplin: Disiplin dalam framework yang ia pegang, dan disiplin dalam mengikutinya. Sekarang saya akan memberikan review portfolio saya.



Palm Oil: BWPT & AALI (Eagle High Plantation & Astra Agro Lestari)


Saya akan memulai dengan mengaddress persepsi umum yang saya lihat tidak betul. Respon kebanyakan orang ketika mendengar saya berinvestasi di perusahaan sawit BWPT dan AALI adalah bingung mengapa saya tidak hanya masuk ke AALI saja. Kebanyakan orang melihat 2 perusahaan ini berbeda: BWPT adalah perusahaan bangkrut dan AALI adalah perusahaan sawit yang aman. Saya tidak melihat bagaimana kedua perusahaan ini fundamentally different. Kita bahkan bisa membandingkannya dengan perusahaan sawit lainnya, tapi saya akan membatasinya dengan apa yang saya punya: BWPT dan AALI.


Pertama, kita bisa melihat return kedua perusahaan ini memiliki korelasi tinggi.


ree

Ini karena pergerakan economic profit (EVA) mereka juga mirip.

ree

In turn, EVA perusahaan sawit digerakan oleh gross margin mereka. Di analisa sawit terakhir, saya menampilkan chart sangat penting yang menjelaskan mengapa saham perusahaan-perusahaan sawit ini sangat lackluster di tengah record breaking harga CPO.


Seperti yang bisa dilihat, untuk pertama kalinya, gross margin perusahaan sawit tidak mengikuti pergerakan harga CPO sejak Q2 2020. BWPT adalah worst performer, tapi economic profit semua perusahaan sawit ini digerakan oleh faktor yang sama.


Sebelum saya mempublish analisa sawit terakhir (mid-September 2021), saya membeli banyak saham AALI. Analisa tersebut membahas secara detail bagaimana analisa Wyckoff dilakukan di AALI (link di atas). Anda bisa melihat sendiri mengapa hingga saat ini saya memperhatikan secara detail interaksi price-volume. Tapi sejauh yang saya peduli, kedua saham ini masih sangat mengecewakan relatif terhadap ekspektasi saya.


Semenjak dari analisa terakhir, saat ini saya memiliki gambaran yang lebih komplit dengan apa yang terjadi. Sebelumnya, saya meragukan kalau culprit lemahnya performa perusahaan sawit hanya ada di tarif ekspor. Pretty accurate. Apa yang terjadi adalah sejak Q2 2020, pemerintah menaikan pajak ekspor sawit untuk mengurangi defisit negara. Perusahaan sawit ini mempass-on kenaikan tarif ke kustomer international mereka. Hal ini membuat kustomer negara lain memilih sawit dari Malaysia yang lebih murah karena tidak ada extra charge. MPOC merecord kenaikan 48% ekspor CPO ke India menjadi 3,2 juta ton dari tahun lalu. Angka ini konsisten dengan report dari GAPKI yang melihat penurunan ekspor CPO Indonesia ke India. Export CPO diperkirakan GAPKI turun 60,5% di tahun ini.


Perkembangan di faktor ini adalah hal terpenting untuk investor perusahaan sawit. Perubahan yang bisa membuat perusahaan sawit bisa ekspor banyak dengan, ataupun tanpa (even better) tarif, akan membuat kondisi bisnis perusahaan-perusahaan sawit ini, dan consequently harga sahamnya, sangat berbeda. Untuk pembaca yang ingin tahu lebih detail pandangan saya disini, saya memegang high confidence terhadap label Elliott Wave di AALI yang pertama kali saya tulis di mid-2020. Semenjak itu, progresi pergerakan harga AALI mengikuti interpretasi tersebut. Untuk BWPT, seperti yang saya katakan dalam analisa terakhir, akan mengikuti AALI.



Real Estate: LPCK (Lippo Cikarang)


Timing enter ke LPCK sangat bagus (akhir Oktober 2021). Seperti halnya saya memilih BWPT, di real estate saya memilih LPCK. Mereka adalah worst performer di industrinya untuk waktu yang lama. Investasti adalah aktivitas yang menantang intuisi. Kuncinya adalah memahami kalau potential return besar membutuhkan ekspektasi Mr. Market yang rendah. Pandangan ini tidak banyak dipegang oleh investor yang menganalisa secara fundamental. Kebanyakan memilih best performer. Certainly, LPCK adalah saham yang tidak populer. Kebanyakan orang punya persepsi buruk karena proyek Meikarta, dan tidak sedikit juga yang memandang sinis reputasi management Lippo di tangan James Riady.


Semenjak key low di Maret 2020, LPCK mendeliver return paling besar dibanding peersnya, bahkan dengan old winner CTRA. Seandainya bull market di perusahaan sawit akhirnya berjalan, most likely kita akan melihat outperformance yang serupa di BWPT.

ree

Di analisa LPCK, saya memberikan pandangan saya kalau driver utama yang membuat bull market panjang real estate telah kembali: Quantitative Easing jumbo yang dimulai di tahun 2020. Money printing ini akhirnya telah menemukan jalurnya kembali ke real estate Indonesia. Sebaliknya, pandangan umum melihat faktor utama kebangkitan real estate terjadi karena keringanan kredit rumah. Media sibuk mengaitkannya dengan ā€˜economic recovery’. Saya percaya mereka memiliki narasi yang salah. Daripada mengandalkan berita, saya menyarankan pembaca untuk percaya dengan angka financial. Kita bisa melihat apa yang terjadi di CTRA saat ini: record-breaking revenue dan record-breaking EVA. Perusahaan real estate lainnya akan menyusul.



BBNI (Bank BNI)


Saham ini telah saya lepas dengan return yang memuaskan sesuai dengan tujuan trading. Terlebih, ada kepuasan tersendiri ketika bisa melepas saham di apa yang sekarang terlihat sebagai pivot high signifikan. Apa yang menarik dibahas saat ini adalah BBNI belum bisa melampaui level tersebut. Area ini adalah high point 7.500/share akhir Oktober 2021 yang memiliki hubungan geometris signifikan. Di akhir tahun 2020, saya menjelaskan bagaimana parallel diagonal lines dan fibo retracement digunakan untuk mengidentifikasi area signifikan tersebut.



PRDA (Prodia)


In hindsight, saya bisa masuk di level yang sedikit lebih baik kalau seandainya saya giat mengupdate data. Jika kita melihat data Q4 2020, jelas terlihat kalau bisnis PRDA mengalami transformasi besar karena pandemi. Di Q1 2021, EVA PRDA improve jauh lagi. More importantly, dari estimasi saya, investor masih belum menempatkan ekspektasi fantastis, padahal perubahan EVA sangat dramatis. Saya melihat peluang besar yang membutuhkan immediate action karena EVA PRDA di sepanjang tahun 2021 akan lebih mungkin menunjukan further improvement (data Q3 2021 belum saya update).

Di analisa saat itu, estimasi possible growth dan market geometry menunjukan level 6.800/share sebagai patokan yang bagus untuk keluar. Tidak sebesar dari apa yang saya inginkan ketika invest saham, tapi tetap worth it bila kita mempertimbangkan return tersebut bisa dicapai dalam waktu singkat, which it did. As it turned out, PRDA hampir mencapai 10.000/share. Level saat ini mengimply ekspektasi investor yang jauh dari apa yang bisa saya sebut moderate.

ree


SRIL (Sritex)


Di pertengahan tahun 2021, saya memberikan pandangan kalau problem utama SRIL itu sebenarnya lebih besar dari SRIL sendiri. Problem utamanya bersumber dari kreditur besar SRIL tidak ingin me-roll over kredit massive mereka yang jatuh tempo di Januari 2022. Pembaca artikel tersebut sekarang tidak terkejut ketika SRIL saat ini berupaya untuk mendapat pinjaman sebesar Rp 12 Triliun.


Dalam pandangan saya, kondisi SRIL betul-betul dalam masalah. Seperti yang saya mention di analisa tersebut, ada 3 bank asing yang menjadi kreditur besar SRIL: Bank QNB, Bank HSBC, dan Standard Chartered. Saya cukup yakin, ketiga bank tersebut menolak untuk me-roll over kredit mereka.


Posisi yang diambil kreditur asing besar ini sangat berbahaya. Bank-bank ini sepertinya sudah mengambil kebijakan ā€˜deleveraging’. Di tengah kondisi saat ini, kebijakan ini seperti meninggalkan perahu agar sehingga perahunya tenggelam lebih cepat, demi menyelamatkan diri sendiri. Di saat ini, hampir seluruh perusahaan besar di seluruh dunia memiliki utang dengan jumlah yang tidak bisa dibandingkan dengan masa lalu. Apabila kredit macet, perusahaan-perusahaan ini akan sangat rentan untuk kolaps. IMF telah memperingati risiko fatal bisa terjadi apabila kreditur tidak bersedia untuk memberi keringanan signifikan. SRIL adalah lensa nyata yang memaparkan dengan jelas betapa rapuhnya ekonomi global saat ini. Recovery? Not by a long shot.


Dari apa yang saya tangkap, secara efektif saat ini SRIL sedang berupaya meminta kepada BI untuk print sekitar Rp 12 Triliun untuk sebagian besar mengganti kredit bank asing mereka yang tidak bisa diperpanjang. Tentu saja tindakan ini tidak akan dipandang positif oleh investor asing, dan dengan kondisi saat ini, semakin sulit mencari investor yang mau mendanai defisit negara. Tapi saya pikir pemerintah akan memilih mengambil risiko dengan investor asing ketimbang melepas perusahaan tekstil terbesar dengan konsekuensi PHK masal di industri tekstil. Saya expect SRIL sudah mendapat pinjaman besar sebelum Januari 2022 berakhir, thanks to BI. Tidak lama kemudian, suspensi saham SRIL akan dicabut.



Notable Mention


Dibawah ini adalah notable mentions saham-saham yang pernah saya bahas.


PTBA (Bukit Asam)

Impotentnya pertemuan COP 26 di Glasgow pada November 2021 berarti business as usual untuk perusahaan batu-bara. Perusahaan-perusahaan ini akan tetap beroperasi dan berekspansi tanpa hambatan berarti di tengah record-breaking coal price. Ini berarti keanjlokan saham batu-bara di bulan Maret 2020 telah mengantar saham-saham ini ke level dengan ekspektasi yang sangat pesimistis.



ICBP (Indofood CBP Sukses Makmur)

Event signifikan terjadi di tahun 2020 ketika ICBP mengakuisisi Pinehill sebesar Rp 45 T. Sejak akuisisi tersebut diumumkan, saya memandangnya sangat negatif. Di pertengahan tahun 2020, saya mengatakan kalau akuisisi Pinehill adalah tindakan management yang akan membawa posisi ICBP dari high EVA menjadi hampir break-even economically. Saya ingin menunggu hasil full year 2021 sebelum membuat update lagi. Tapi dari hasil Q3 2020 sepertinya penilaian saya benar. Konsekuensi dari pandangan ini adalah kita bisa expect kontraksi signifikan harga saham ICBP.

BULL (Buana Lintas Lautan)

Apa yang terjadi dengan BULL bukan kejutan bila investor mengerti EVA. Ketika post ini saya share di Stockbit, BULL saat itu masih baru dalam tahap awal bear market. Needless to say, penerimaan publik terhadap analisa tersebut tidak hangat (terlebih lagi di ICBP). Mengikuti pandangan populer di social media adalah ide yang buruk. Tapi bukan berarti selalu mengambil posisi kontrarian adalah ide yang briliant. At any rate, pelajaran penting di BULL adalah perusahaan bisa berbeda walaupun industrinya sama. Kondisi EVA BULL jelas berbeda jauh dengan apa yang terjadi di SMDR. Variasi antar perusahaan ini menunjukan kalau tidak cukup hanya mengetahui industri mana yang akan menjadi rising star.


Ā 
Ā 
Ā 

Komentar


© 2024 by Rio Adrianus

  • Black Twitter Icon
bottom of page